
Pentas Seni Ludruk: Salah Satu Warisan Budaya Kesenian Mojokerto
Kesenian Ludruk merupakan pertunjukan seni yang diperagakan oleh seorang tokoh dengan berdialog menggunakan bahasa Jawa dan gerakan yang sederhana. Kesenian ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya pada abad ke-13 saat agama Hindu mendominasi Jawa. Lambat laun kesenian ini disebut Lerok Bandan yang dipentaskan di halaman dengan alat musik yang sederhana, seperti anatar, kendang, dan jidor. Pertunjukan Lerok Bandan diperagakan di atas panggung dengan menampilkan adegan mistis, kekuatan magis, dan pertahanan diri. Berganti lagi penyebutannya dengan Sandiwara Lerok. Sama halnya dengan pertunjukan Lerok Bandan, Sandiwara Lerok dipentaskan dengan iringan musik gamelan, namun yang menjadi pembeda ialah adanya kidung di dalamnya. Pertunjukan ini juga tak lepas dari unsur-unsur mistis semacam kekuatan gaib, tenaga dalam, dan berbagai hal-hal magis yang dipercaya masyarakat Mojokerto kala itu. Istilah Lerok Besut dan Lerok Ngamen kemudian muncul menggeser nama pentas seni Lerok Bandan.
Kemudian yang paling akhir muncul adalah Lerok Berlakon yakni seni pertunjukan dengan menggabungkan cerita. Lerok berlakon ini mendapat popularitas tinggi setelah zaman Jepang dan setelah Republik Indonesia memperoleh kemerdekaan. Pada awal abad ke-19, istilah "ludruk" telah dikenal di masyarakat Jawa Timur dan berkembang menjadi seni yang lebih kompleks, dengan para pemain yang menggunakan pakaian warna-warni, gerakan yang penuh semangat, serta menggunakan instrumen seperti gamelan dan suling, musik yang digunakan pun bervariasi. Kesenian Ludruk di Mojokerto mulai dipengaruhi oleh Islam pada abad ke-20. Tema-tema yang diperagakan lebih sesuai dengan Islam, seperti kisah Nabi dan sahabat, mulai digunakan oleh para pemain Ludruk. Begitu juga dengan musik yang dimainkan menggunakan instrumen yang Islami seperti rebab dan tambur.
Kesenian Ludruk di Mojokerto mulai mengalami modernisasi sekitar tahun 1950-an. Para pemain Ludruk menggunakan kostum dan gerakan yang lebih modern. Selain itu, musik yang dimainkan menjadi lebih kekinian dengan penggunaan instrumen seperti gitar dan drum. Kostum yang digunakan penari yang terdiri dari celana hitam atau merah. Mereka menghiasi leher dengan ikat kepala warna merah, menggunakan anting-anting di telinga kiri, dan aksesoris seperti gongseng di kaki kanan. Musik gamelan yang digununakan berupa boning, saron, gambang gender, slentem, siter, seruling, ketuk, kenong, kempul, dan gong.
Seni Ludruk di Mojokerto memiliki ciri khas di tiap pertunjukannya, baik dari segi gerakan, musik, kostum, dan tema yang beragam. Sampai saat ini, masyarakat lokal Mojokerto masih melestarikan kesenian Ludruk ini. Para pemain masih berbicara bahasa Jawa dan melakukan gerakan tradisional dengan sentuhan modern. Salah satu aspek penting dari budaya dan tradisi masyarakat Mojokerto adalah seni Ludruk. Sehingga hal ini juga menarik wisatawan asing untuk mengetahui banyak hal tentang budaya lokal. Pemerintah Indonesia telah menetapkan seni Ludruk sebagai Warisan Budaya Tak benda karena merupakan bagian penting dari budaya dan tradisi kota Mojokerto yang masih dilestarikan hingga saat ini.